Sabtu, 09 Maret 2013

SIAPA WALI ALLAH ?




CATATAN ULAMA AHLI HADITS TENTANG WALI ALLAH

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (Yunus: 62-64).

Dalam sebuah hadis sahih Rasulullah Saw bersabda
عمر بن الخطاب قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم " إن من عباد الله لأناسا ما هم بأنبياء ولا شهداء يغبطهم الأنبياء والشهداء يوم القيامة بمكانهم من الله تعالى " قالوا يارسول الله تخبرنا من هم ؟ قال " هم قوم تحابوا بروح الله ( فسروه بالقرآن . كذا قال الخطابي ) على غير أرحام بينهم ولا أموال يتعاطونها فو الله إن وجوههم لنور وإنهم على نور لا يخافون إذا خاف الناس ولا يحزنون إذا حزن الناس وقرأ هذه الآية { ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون }
yang artinya: “Sesungguhnya diantara hamba Allah ada sekelompok manusia yang bukan Nabi dan bukan Syuhada’. Mereka dikelilingi oleh para Nabi dan Syuhada’ di hari kiamat karena kedudukannay disisi Allah.” Para sahabat bertanya:” Wahai Rasulullah, kabarkan kami siapa mereka?” Rasulullah menjawab: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan ruh Allah (ulama menafsiri: Al-Quran) tanpa hubungan keluarga antara mereka dan tanpa uang yang diberikan pada mereka. Demi Allah, sungguh wajah mereka adalah cahaya dan mereka diatas cahaya. Mereka tidak takut saat manusia ketakutan. Mereka tidak sussah saat semua manusia diterpa kesusahan.” Lalu Rasulullah membaca: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (HR Abu Dawud No 3527 dari Umar bin Khattab)
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda saat haji wada’ (perpisahan):
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال في حجة الوداع : ألا أن أولياء الله المصلون من يقيم الصلاة الخمس التي كتبن عليه و يصوم رمضان يحتسب صومه يرى أنه عليه حق و يعطي زكاة ماله يحتسبها و يجتنب الكبائر التي نهى الله عنها
Sesungguhnya para wali Allah adalah orang-orang yang mendirikan salat 5 waktu yang diwajibkan bagi mereka, berpuasa Ramadlan dengan mengharap pahala dan memenuhi kewajiban, memberikan zakat hartanya dengan mengharap pahala, dan menjauhi dosa besar yang dilarang oleh Allah” (HR al-Hakim No 7666 dan ia menilai sahih dan disetujui oleh al-Dzahabi)
Dalam Hadis Qudsi Rasulullah bersabda
إن الله قال من عادى لى وَلِيًّا فقد آذَنْتُهُ بالحرب وما تقرب إلىَّ عبدى بشىء أحب إلى مما افترضت عليه وما يزال عبدى يتقرب إلىَّ بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذى يسمع به وبصره الذى يُبصر به ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها وإن سألنى لأعطينه وإن استعاذنى لأعيذنه (البخارى عن أبى هريرة)
“Sesungguhnya Allah berfirman : Barangsiapa yang memusuhi seorang wali maka Aku mengizinkan berperang. Tidak ada yang seorang hamba yang mendekatkan diri kepadaKu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada berhenti mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangan yang dipukulnya, langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu Aku kabulkan, dan jika ia berlindung kepadaKu, niscaya Aku lindungi” (HR Al-Bukhari)
Hadis Wali Badal al-Hafidz as-Suyuthi berkata:
لَمْ يَرِد فِي الْكُتُب السِّتَّة ذِكْر الْأَبْدَال إِلَّا فِي هَذَا الْحَدِيث عِنْد أَبِي دَاوُدَ وَقَدْ أَخْرَجَهُ الْحَاكِم فِي الْمُسْتَدْرَك وَصَحَّحَهُ ، وَوَرَدَ فِيهِمْ أَحَادِيث كَثِيرَة خَارِج السِّتَّة جَمَعْتهَا فِي مُؤَلَّف اِنْتَهَى عون المعبود - ج 9 / ص 322)
“Penjelasan tentang wali Badal tidak ada dalam kutubus sittah (6 kitab hadis; Bukhari, Muslim, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibnu Majah), kecuali 1 hadis riwayat Abu Dawud (No 3737) dan diriwayatkan oleh al-Hakim dan ia menilainya sahih (dan riwayat Ahmad No 27446). Namun ada banyak hadis tentang wali Badal yang diriwayatkan oleh selain 6 kitab hadis tersebut” (‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/322)
Ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar mengkritik terhadap al-Hafidz Ibnu Jauzi yang memasukkan hadis-hadis tentang keberadaan wali Badal (pengganti) ke dalam kategori “al-Maudluat” (hadis-hadis palsu). al-Hafidz Ibnu Hajar justru memberi penilaian sebaliknya yaitu sebuah hadis:
أورد ابن الجوزي في الموضوعات أحاديث فيها وجود الأبدال ... سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الأبدال بالشام وهم أربعون رجلا كلما مات رجل أبدل الله مكانه رجلا يسقى بهم الغيث وينصر بهم على الأعداء ويصرف عن أهل الشام بهم العذاب رجاله رجال الصحيح غير شريح وهو ثقة (القول المسدد - ج 1 / ص 82)
“Para wali Badal (pengganti) berada di Syam. Mereka 40 orang laki-laki. Setiap ada yang mati dari mereka maka Allah menggantikannya dengan orang lain. Dengan merekalah manusia diberi hujan dan dengan mereka pula manusia diberi pertolongan dari para musuh” (al-Qaul al-Musaddad 1/82, para perawinya sahih selain Syuraih, ia tsiqah)
Ahli hadis Syaikh al-Kattani mengatakan bahwa hadis-hadis tentang keberadaan wali Badal dari Anas adalah dlaif. Namun hadis tersebut juga diriwayatkan dari (1) Ubadah bin Shamit, (2) Ibnu Umar, (3) Ibnu Masud, (4) Abi Said, (5) Ali, (6) Auf bin Malik, (7) Abu Hurairah, dan (8) Muadz bin Jabal. al-Kattani mengutip dari al-Hafidz as-Suyuthi bahwa hadis tentang wali Badal telah mencapai mutawatir secara maknawi (Nadzmu al-Mutanatsir fi al-Hadits al-Mutawatir 1/220)

AL-HAFIDZ IBNU HAJAR (773-852 H / 1372-1448 M)
Para ahli hadis juga banyak menyebut wali Badal baik secara criteria maupun perorangan. Inilah bentuk konsistensi mereka kepada hadis diatas. Misalnya al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Abu Ibrahim az-Zuhri adalah termasuk wali Badal” (Fathul Bari 1/357). Ahli hadis Yahya bin Main ditanya siapa wali Badal? Beliau menjawab: “Kalau Ahmad bin Harb bukan wali Badal, maka saya tidak tahu siapa mereka” (Lisan al-Mizan 1/62).
Ibnu Hajar juga meriwayatkan ketika Bilal al-Khawwash bertemu dengan Nabi Khidir dan bertanya tentang Imam Syafii, maka Nabi khidir menjawab: “Ia termasuk wali Badal” (al-Ishabat fi Ma’rifat ash-Shahabat 1/313)
Imam Ahmad berkata: “Diantara tanda wali Badal adalah tidak memiliki anak. Hammad bin Salamat termasuk wali Badal, ia tidak memiliki anak” (Lisan al-Mizan 1/415)
Imam Ahmad bin Hanbal juga termasuk wali Badal, setelah beliau wafat digantikan oleh Abu Zur’ah (Ibnu Abi Ya’la dalam Thabaqat al-Hanabilah 1/78). Imam Ahmad sendiri berkata: “Ma’ruf al-Kurkhi termasuk wali Badal, doanya dikabulkan” (Thabaqat al-Hanabilah 1/154)

AL-HAFIDZ ADZ-DZAHABI (673-748 H / 1275-1347 M)
Ahli hadis al-Hafidz adz-Dzahabi juga demikian, ia banyak mengutip sosok wali Badal dalam sanad hadis, misalnya tentang Ammar bin Muhammad “Kami tidak ragu bahwa dia adalah termasuk wali Badal” (Mizan al-I’tidal 3/168). adz-Dzahabi juga mengutip dari Syafii bahwa Fadil termasuk wali Badal (Mizan al-I’tidal 4/384)
Lebih banyak lagi adz-Dzahabi mencatat wali Badal dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, seperti yang ia sebutkan: “Ahmad bin Hanbal berkata: Jika di Baghdad masih ada wali Badal, dia adalah Abu Ishaq an-Naisaburi” (13/18). Juga “Abdullah bin Maslamah adalah termasuk wali Badal” (10/262). Dan sebagainya.

AL-HAFIDZ AL-MIZZI (654-742 H)
al-Hafidz al-Mizzi menyebutkan beberapa sosok wali Badal dalam kitab biografi perawi hadis Tahdzib al-Kamal, diantaranya adalah Shalih bin Muhammad (15/404), Abu Zur’ah berkata: “Ali bin Abu Bakar termasuk wali Badal” (20/335), Ibnu al-Mubarak berkata: “Tidak ada yang tersisa dari wali Badal di Hijaz (Makah-Madinah sebelum dikuasai keluarga Sa’udi) kecuali Fudlail bin Iyadl” (23/289) dan sebagainya.
Inilah sekelumit data dari para ahli hadis. Dan ketika menelaah kitab ahli hadis lainnya akan ditemukan ratusan ulama ahli hadis yang menjadi wali Badal dan tak dapat dipungkiri.

MENOLAK HADIS WALI BADAL
Ulama yang ingkar terhadap hadis-hadis wali Badal adalah Syaikh Albani (Ulama Wahabi). Namun anehnya ia mengutip banyak pernyataan ahli hadis tentang sosok wali Badal dan ia sama sekali tidak menyanggah, misalnya “Farwah bin Mujalid; al-Bukhari berkata: Para ulama tidak ragu bahwa Farwah adalah termasuk wali Badal” (Silsilah Sahihah 2/465). Albani juga berkata: “Asad adalah ahli ibadah dari Syam, Makhul berkata: Ulama Syam tidak ragu bahwa Asad adalah termasuk wali Badal” (Silsilah Sahihah 3/119), dan sebagainya penutup

AL-HAFIDZ IBNU HAJAR BERKATA:
وفي فتادوى الحافظ ابن حجر الأبدال وردت في عدة أخبار منها ما يصح ومنها ما لا يصح وأما القطب فورد في بعض الآثار وأما الغوث بالوصف المشتهر بين الصوفية فلم يثبت اه.
“istilah Wali Badal bersumber dari hadis, yang sebagiannya sahih dan sebagiannya lagi tidak sahih. Sedangkan ‘Wali Qutub’ bersumber dari Atsar ulama Salaf. Dan istilah ‘Ghauts’ adalah julukan yang popular dalam kalangan Shufi (Nadzmu al-Mutanatsir 1/220).

Jumat, 08 Maret 2013

PENDAPAT ULAMA SALAF MENGENAI DOA QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH



Pada dasarnya persoalan membaca qunut atau tidak dalam shalat shubuh telah menjadi perselisihan di kalangan ulama sejak generasi salaf yang shaleh. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, membaca qunut tidak disunnahkan dalam shalat shubuh. Sementara menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i, membaca qunut disunnahkan dalam shalat shubuh.
Kedua pendapat tersebut, baik yang mengatakan sunnah atau tidak, sama-sama berdalil dengan hadits-hadits Rasulullah SAW.
Hanya pendapat yang satunya berpandangan bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak membaca qunut itu lebih kuat. Sementara pendapat yang satunya lagi berpendapat bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut justru yang lebih kuat. Jadi pandangan kaum Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa membaca qunut itu tidak ikut Rasulullah SAW adalah salah dan tidak benar. Nah untuk menjernihkan persoalan ini, marilah kita kaji dalil tentang qunut ini dari perspektif ilmu hadits.
Sebagaimana dimaklumi, pandangan Imam al-Syafi’i yang menganjurkan membaca qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits, karena agumentasinya lebih kuat dari perspektif ilmu hadits. Terdapat beberapa hadits yang menjadi dasar Imam al-Syafi’i dan pengikutnya dalam menganjurkan membaca qunut dalam shalat shubuh.
Dalil Pertama:
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْن قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا. (رواه مسلم في صحيحه).
“Dari Muhammad bin Sirin, berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab: “Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR. Muslim, hadits no. 1578).
Dalil Kedua:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا. (رواه أحمد والدارقطني والبيهقي وغيرهم بإسناد صحيح).
“Dari Anas bin Malik, berkata: “Rasulullah SAW terus membaca qunut dalam shalat fajar (shubuh) sampai meninggalkan dunia.” (HR. Ahmad [3/162, al-Daraquthni [2/39], al-Baihaqi [2/201] dan lain-lain dengan sanad yang shahih.
Hadits di atas juga dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3/504]. Beliau berkata: “Hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan keshahihannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.”
Sebagian kalangan ada yang mendha’ifkan hadits di atas dengan alasan, di dalam sanadnya terdapat perawi lemah bernama Abu Ja’far Isa bin Mahan al-Razi. Alasan ini jelas keliru. Karena Abu Ja’far al-Razi dinilai lemah oleh para ulama ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in, dalam riwayatnya dari Mughirah saja. Sementara dalam hadits di atas, Abu Ja’far meriwayatkan tidak melalui jalur Mughirah, akan tetapi melalui jalur al-Rabi’ bin Anas. Sehingga hadits beliau dalam riwayat ini dinilai shahih.
Dalil Ketiga:
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ آَخِرِ رَكْعَةٍ قَنَتَ. (رواه ابن نصر في قيام الليل بإسناد صحيح).
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW apabila bangun dari ruku’ dalam shalat shubuh pada rakaat akhir, selalu membaca qunut.” (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitab Qiyam al-Lail [137] dengan sanad yang shahih).
Demikianlah ketiga hadits di atas yang dijadikan dalil oleh al-Imam al-Syafi’i dan pengikutnya. Sementara sebagian ulama yang tidak menganjurkan qunut dalam shalat shubuh, berdalil dengan hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ. (رواه مسلم في صحيحه)
“Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah SAW membaca qunut selama satu bulan, di dalamnya mendoakan keburukan bagi beberapa suku Arab, kemudian meninggalkannya.” (HR. Muslim, hadits no. 1586).
Dalam hadits shahih di atas, ternyata Rasulullah SAW membaca qunut hanya satu bulan, kemudian sesudah itu meninggalkannya. Menanggapi hadits tersebut, para ulama ahli hadits berpendapat, bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat shubuh sampai wafat. Karena yang dimaksud dengan hadits terakhir di atas adalah, Rasulullah SAW melaknat atau mendoakan keburukan dalam qunut bagi beberapa suku Arab itu hanya satu bulan, setelah itu beliau tidak melaknat lagi, tetapi bukan berarti Rasulullah SAW meninggalkan qunut. Beliau membaca qunut dalam shalat shubuh sampai wafat sebagaimana beberapa riwayat sebelumnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra.
Oleh karena, pendapat yang menetapkan qunut shubuh, lebih kuat dari segi dalil, maka pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf. Dalam konteks ini, al-Imam al-Hafizh al-Hazimi berkata dalam kitabnya al-I’tibar fi Bayan al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar (hal. 90):
وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ :فَذَهَبَ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ إِلَى إِثْبَاتِ الْقُنُوتِ ، فَمِمَّنْ رُوِّينَا ذَلِكَ عَنْهُ مِنَ الصَّحَابَةِ : الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ : أَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ ، وَعُثْمَانُ ، وَعَلِيٌّ ، وَمِنَ الصَّحَابَةِ : عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ، وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ ، وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ ، وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ.
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang qunut dalam shalat shubuh. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya dari para ulama berbagai kota berpendapat menetapkan qunut. Di antara para sahabat yang diriwayatkan kepada kami membaca qunut adalah; Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Demikian pula Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abi Bakar, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, al-Bara’ bin Azib, Anas bin Malik ....”.
Setelah memaparkan bahwa membaca qunut diikuti oleh mayoritas ulama, al-Hazimi kemudian menguraikan bahwa pandangan yang menafikan qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh sekelompok ulama dengan alasan bahwa hukum membaca qunut dalam shalat shubuh telah dimansukh (dihapus hukumnya).
Selanjutnya al-Hazimi membantah dengan tegas pendapat yang menafikan qunut tersebut dari aspek ilmu hadits dan ushul fiqih. Pada dasarnya, pendapat yang mengatakan sunnah maupun tidak sunnah membaca qunut dalam shalat shubuh sama-sama didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW. Hanya saja pendapat yang mengatakan sunnah lebih kuat dari aspek tinjauan ilmu hadits dan ushul fiqih, serta diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf yang shaleh dan ahli hadits.

ASAL MULA PERKEMBANGAN AQIDAH ISLAM DAN MUNCULNYA FAHAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH (SUNNI)



Setelah wafatnya Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, di mana Daulah Islamiyyah semakin meluas di bawah pimpinan para khalifah, maka banyak umat manusia dari seluruh dunia memasuki agama Islam berbondong-bondong. Masyarakat Islam pada ketika itu mempunyai latar belakang agama dan pegangan yang berbeda-beda. Bahkan, mereka juga mempunyai femahaman terhadap kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang diajarkan oleh Islam.
Bahkan, sebagian mereka ada dari kalangan orang-orang A’jam (bukan Arab) yang mengalami kesukaran untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an secara langsung. Berdasarkan banyak faktor-faktor , maka risalah aqidah Islam dan tauhid murni ini semakin menantang untuk dijelaskan kepada masyarakat yang baru memeluk Islam.
Sebagian dari mereka sudah terbiasa dengan pegangan dan konsep ketuhanan yang salah sehingga mencoba memahami aqidah murni Islam dengan kerangka yang salah. Oleh sebab itulah, timbul isu aqidah yang beragam seperti isu taqdir yang merupakan isu yang paling awal dibahas dalam masyarakat Islam,tentunya dalam bidang aqidah. Ini adalah suatu tantangan baru dalam masyarakat Islam, di mana dahulu, iman adalah suatu yang dihayati dan terealisasi dalam segenap kehidupan, namun dengan munculnya generasi baru yang mempunyai pelbagai latar belakang pendidikan, keilmuan, pegangan, kepercayaan, bahasa dan sebagainya, membuat “pendekatan” untuk menjelaskan tentang tauhid murni Islam perlu dikembangkan.
Pada awal perkembangan ilmu aqidah (suatu nama yang tidak di gunakan dalam zaman awal salaf, lalu berkembang menjadi nama khusus untuk ilmu tauhid), para ulama’ tidak menumpukan sepenuh perhatian terhadap isu-isunya karena mereka lebih menumpukan sudut mengembangkan ilmu-ilmu berkaitan femahaman terhadap hukum-hakam syariat Islam.
Namun Apabila timbul isu-isu melibatkan aqidah, maka para ulama’ hanya menghadapi individu-individu yang terlibat dengan perdebatan ilmiah yang ringkas. Ini bisa dilihat sebagai suatu asas bagi perkembangan ilmu Jidal (ilmu perdebatan) yang seterusnya membawa kepada pengkonsepan ilmu Kalam Sunni, yaitu suatu perkembangan ilmu Jidal para ulama’ Sunnah khusus dalam bidang aqidah Islam. di Antara para ulama’ Salaf yang masyhur yang terlibat dalam perdebatan secara Kalamiyyah (ilmu Kalam atau ilmu Jidal) ini adalah Imam Abu Hanifah r.a. (w 150 H), Imam As-Syafi’e r.a. (w: 204 H) [rujuk Manaqib As-Syafi’e oleh Al-Baihaqi: 1/457] dan sebagainya.
Pada masa seperti ini, perkembangan ilmu tauhid ajaran Islam mula dibahas secara teori semata-mata tanpa berkaitan dengan penghayatan terhadap tauhid itu sendiri. Muncul individu-individu yang sibuk membahas tentang sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara ghaib dan sebagainya tanpa menghayati tauhid murni dalam hati mereka. Seolah-olah, ilmu tauhid adalah suatu ilmu untuk dibahas tanpa mempunyai penghayatan dan rasa manisnya dalam diri manusia. Ini adalah hasil perkembangan perbahasan ilmu agama tanpa nilai ketaqwaan dalam sebagian ahli ilmu dan masyarakat awam.
Tidak dapat dinafikan bahwa, para ulama’ yang terlibat dalam memberi penjelasan terhadap aqidah Islam dalam masyarakat Islam adalah terdiri daripada para ulama’ sufi juga, yang pada ketika itu lebih dikenali sebagai golongan Az-Zuhhad (ahli zuhud). Tokoh-tokoh besar seperti Imam Hasan Al-Bashri (w: 110 H) dan Imam Harith Al-Muhasibi (w: 243 H) adalah antara tokoh-tokoh sufi awal yang terlibat membahaskan ilmu berkenaan dengan aqidah. Namun, pembahasan tauhid mereka berbeda dengan pembahasan tauhid nazhori (secara teori) karana mereka membahas tentang penyucian jiwa, tarbiah kerohanian dan sebagainya sebagai usaha merealisasikan ilmu tauhid kepada bentuk penghayatan rohani.
Ini berbeda dengan perkembangan ilmu Tauhid Nazhori yang melibatkan perdebatan-perdebatan secara istilah dan sebagainya. Sedangkan, ilmu aqidah atau ilmu tauhid yang dikembangkan oleh sebagian ulama’ sufi menekankan konsep “keterpaduan” antara tauhid dengan akhlak (tauhid amali syuhudi) yang mana itu suatu warisan tauhid generasi awal Islam yang masih dipelihara. Ilmu Tauhid yang mereka bahas bukan sekadar berbentuk teori, tetapi diterjemahkan dalam bentuk hubungan kehambaan dengan Allah s.w.t. melalui konsep Suhbah dan Tarbiah yang didasari oleh kaedah Qudwah (contoh) sebagaimana yang telah disebutkan.
Kaedah Qudwah yang mereka gunakan itu sendiri mempunyai silsilahnya yang bersambung kepada Saidina Rasulullahshollallahu ‘alaihi wasallam karana para ulama’ sufi mengambil qudwah daripada para ulama’ tabi’in yang mengambilnya daripada para sahabat r.a. yang mana mereka mengambilnya daripada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika perkembangan ilmu tauhid amali sedang marak dalam golongan sufi khususnya, muncul beberapa individu yang terus tenggelam dalam pembahasan tauhid berbentuk teori (Ilmu Tauhid Nazhori/kalam), lalu timbul perdebatan hangat tentang masalah-masalah ketuhanan dan sebagainya, berdasarkan banyak faktor. Antaranya adalah berlebihan dalam menggunakan akal untuk berinteraksi dengan masalah-masalah aqidah dan kelemahan dalam menguasai ilmu bahasa Arab yang sempurna sehingga salah faham dalam memahami nas-nas mutasyabihat yang melibatkan masalah-masalah aqidah.
Di Antara mereka yang terlibat dengan kesesatan dalam masalah aqidah adalah seperti Washil bin ‘Atho’ (w: 130 H) yang merupakan murid Imam Hasan Al-Bashri yang akhirnya keluar dari majlis Imam Al-Bashri lalu membuat majlis ilmu sendiri karena mempunyai femahaman yang berbeda daripada Imam Hasan Al-Bashri khususnya dalam beberapa masalah aqidah. Akhirnya, faham Washil bin ‘Atho’ dikenal sebagai Mu’tazilah.
Pemahaman ini juga dikembangkan oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (80-142 H) dan kemudian dikembangkan oleh Abu Hudhail Al-‘Allaf (w: 268 H), Ma’bad bin ‘Ubbad Al-Silmi (w: 220 H) dan seterusnya oleh Abu Ali Al-Jubba’ie (w: 330 H).
Di samping itu juga, sebelum munculnya golongan Mu’tazilah, muncul individu yang menimbulkan kekeliruan dalam masalah aqidah seperti Ma’bad Al-Juhani Al-Bashri (w: 80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqi (w: 105 H). Femahaman kedua individu ini dikenal sebagai Qadariyyah., masalah Taqdir atau Qadar adalah di antara masalah baru yang paling awal diperbincangkan oleh golongan sesat pada masa salaf.
Begitu juga dengan munculnya individu bernama Jahm bin Safwan (w: 128 H) yang terlibat dengan faham Jabbariyyah. Faham ini berbeda dengan faham Qadariyyah walaupun kedua-duanya masih berkaitan dengan masalah qadar. Namun, kedua-golongan ini terpeleset dari tauhid murni Islam.
Golongan Mujassimah juga termasuk di antara golongan yang menyeleweng dalam masalah aqidah. Mereka memahami nas-nas mutasyabihat dengan femahaman bahasa yang maknanya dibatasi dengan penggunaannya kepada makhluk. Lalu, mereka menjisimkan Allah s.w.t. apakah secara jelas atau secara tidak langsung.
Di Antara golongan Mujassimah adalah golongan Hisyamiyyah yang dipelopori oleh Hisyam bin Al-Hakam (w: 190 H) dan Al-Mughiriyyah yang dipelopori oleh Al-Mughirah bin bin Sa’id (w: 119 H) dari kalangan Syiah. Begitu juga golongan Muqotiliyyah yang dipelopori oleh Muqotil bin Sulaiman (w: 150 H) dan dan golongan Al-Karramiyyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Al-Karram (atau Al-Kiram, w: 255 H) dari kalangan ahli hadith. Adapun femahaman golongan Mujassimah ini masih mempunyai pengaruh yang kuat hingga hari ini walaupun kebanyakan mereka berlindung di sebalik nama-nama indah yang mengelabui para penuntut ilmu dan masyarakat awam.
Ketika perkembangan ini muncul ,maka ilmu tauhid atau aqidah lebih dibahas secara teori di bandingkan dengan sebelum ini,yang dikembangkan dalam masyarakat secara praktikal dengan tarbiah kerohanian (tauhid amali syuhudi). Namun, ini tidak menafikan peranan penting para ulama’ sufi yang masih menjaga manhaj tarbiah ummah dan penyucian jiwa yang menjadi aspek terpenting dalam mengembangkan tauhid amali yang diwarisi secara murni daripada para sahabat r.a. dan tabi’in yang sudah mencapai tahap ihsan.

MUNCULNYA GOLONGAN AL-ASYA’IRAH DAN AL-MATURIDIYYAH
Ketika TERJADI BENTURAN antara golongan-golongan yang telah di sebutkan tadi dengan golongan As-Sawad Al-A’zhom (majoritas ulama’ Islam) iaitu golongan Ahlus-Sunnah wal Jamaah, maka muncul dua tokoh utama yang sangat berperan dalam mengembangkan ilmu tauhid secara teori ini, dalam rangka untuk menghadapi dan mengcounter gelombang femahaman-femahaman sesat dari golongan-golongan ahli bid’ah.
Tokoh pertama yang dimaksudkan ialah Imamuna Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w: 324 H). Beliau besar dalam lingkungan keilmuan golongan Mu’tazilah sehingga beliau sendiri terpengaruh dengan faham tersebut. di Antara guru beliau adalah tokoh Mu’tazilah terkemuka iaitu Abu Ali Al-Jubba’ie. Namun, Allah s.w.t. memberi hidayah kepada beliau sehingga beliau akhirnya kembali kepada aqidah ahlus-sunnah wal jamaah, iaitu aqidah murni Islam.
Beliau melihat pentingnya mempertahankan aqidah murni Islam (aqidah ahlus-sunnah wal jamaah) dengan sebuah manhaj penghujahan yang lengkap dan jelas, iaitu dengan menggabungkan manhaj naqli (menggunakan nas) dan aqli (menggunakan kaedah akal).
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Sheikh Ibn Khaldun, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengembangkan manhaj beliau dalam bidang aqidah berdasarkan manhaj Imam Ibn Kullab (w: 240 H) dan dan Imam Al-Muhasibi (w: 243 H).
Ketika itu, perkembangan ilmu tauhid Nazhori versi sunni atau ilmu Kalam versi sunni sangat diperlukan khususnya untuk membentuk suatu metodologi femahaman terhadap aqidah murni Islam dan kaedah penjagaan aqidah daripada faham-faham yang sesat. Maka, penggunaan ilmu logika sangat diperlukan khususnya dalam menyusun kerangka femahaman yang sahih terhadap nas dan seterusnya menyusun kaedah-kaedah asas aqidah murni Islam dan hujah-hujahnya.
Jika kita soroti puncak munculnya faham-faham sesat yang dibawa leh kelompok-kelompok pinggiran (syazd) dalam masyarakat Islam, kita dapati bahwa itu semua kembali kepada dua alasan utama yaitu:
Kelemahan dalam menguasai ilmu berkaitan dengan pemikiran. Kelemahan dalam menguasai ilmu bahasa Arab. Oleh sebab itu, banyak orang yang sesat dalam masalah aqidah didapati karena terperangkap apakah karena berlebihan dalam menggunakan akal ataupun lemah dalam memahami uslub bahasa Arab sehingga salah faham terhadap nas-nas mutasyabihat. Bagi golongan yang terlalu berpegang dengan akal,membuat mereka tidak mengetahui batasan-batasannya dalam menyingkap hakikat ketuhanan sebenar, maka ia akan menolak nas-nas yang jelas sehingga menyimpulkan pendapat-pendapat yang terpeleset lagi sesat.
Begitu juga dengan golongan yang tidak memahami uslub bahasa Arab dan mengabaikan sama sekali peranan akal dalam memahami sebagian sifat kesempurnaan Allah secara umum, lalu akhirnya salah faham terhadap nas-nas mutasyabihat sehingga terlibat dengan faham Tajsim (menjisimkan Allah), Tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan sebagainya.
Maka, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang tokoh yang diberi kekuatan oleh Allah s.w.t. dalam menggabungkan penguasaan akal yang cerdas serta penguasaan femahaman terhadap nas secara jelas, lalu menyusun kaedah-kaedah umum atau manhaj asas dalam memahami aqidah murni Islam. Maka, beliau dinilai sebagai tokoh paling berpengaruh dalam menggabungkan kaedah aqli dan naqli dalam bidang aqidah Islam.
Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w: 333 H) juga merupakan seorang tokoh yang sangat berperanan dalam mengembangkan manhaj sahih dalam bidang aqidah Islam atau dalam ilmu Tauhid Nazhori ini. Manhaj beliau dalam bidang aqidah bisa didapat dalam kitab beliau berjudul Kitab At-Tauhid. Beliau dianggap sebagai pengembang manhaj tauhid nazhori dalam rangka membela aqidah ahlus-sunnah wal jamaah di Samarqand, sebagaimana Imam Al-Asy’ari yang mengembangkan manhajnya di Iraq.
Imam Abu Manshur Al-Maturidi berguru dengan beberapa ulama’ antaranya Imam Abu Nasr Ahmad bin Al-Abbas Al-‘Iyadhi, Imam Ahmad bin Ishaq Al-Juzjaji, Imam Nashir bin Yahya Al-Balkhi dan Imam Muhammad bin Muqatil Ar-Razi.
Imam Ahmad bin Ishaq Al-Juzjaji dan Imam Nashir bin Yahya berguru dengan Imam Abu Sulaiman Musa bin Sulaiman Al-Juzjaji. Imam Abu Sulaiman Musa Al-Juzjaji pula berguru dengan Imam Abu Yusuf (w: 182 H) dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani (w: 189 H) yang mana kedua-duanya merupakan murid-murid utama Imam Abu Hanifah r.a. (w: 150 H). Imam Muhammad bin Muqatil Ar-Razi juga berguru dengan Imam Muhammad As-Syaibani r.a..
Imam Al-Maturidi bukan sekadar mengambil fiqh Imam Abu Hanifah daripada para guru beliau malah mengambil usul aqidah dan manhaj aqidah Imam Abu Hanifah daripada mereka karena Imam Abu Hanifah juga di antara para ulama’ yang paling awal membahas tentang aqidah Islam khususnya dalam kitab beliau Al-Fiqh Al-Akbar. Imam Al-Maturidi dianggap sebagai pengembang manhaj aqidah Imam Abu Hanifah dengan cara yang lebih kemas dan sistematik. Setelah itu, manhaj kedua-dua imam ini mendapat penerimaan luas daripada kebanyakan ulama’ Islam pada zaman tersebut dan zaman seterusnya sehingga zaman sekarang ini. Mereka yang menisbahkan diri kepada manhaj Imam Al-Asy’ari dalam penghujahan pada masalah aqidah dikenal sebagai golongan Al-Asya’irah sedangkan mereka yang menggunakan manhaj Imam Al-Maturidi dikenali sebagai golongan Al-Maturidiyyah. Pembahasan aqidah mereka yang bersifat Nazhori (teoritikal) ini akhirnya dikenali sebagai ilmu Kalam versi Sunni karana mempunyai unsur penggunaan akal di samping penggunaan nas (Naqli).
Sheikh Ibn Khaldun berkata tentang perkembangan ini:
“(Ilmu Kalam) ialah ilmu yang mengandung hujah-hujah terhadap aqidah-aqidah yang dipercayai dengan bukti-bukti secara Aqliyyah (pembuktian secara logikal) dan menolak golongan bid’ah yang terpeleset daripada aqidah salaf dan ahlus-sunnah”. [Muqoddimah Ibn Khaldun 225]
Maka, kedua-dua imam serta para pengikut mereka dikenal dalam sejarah sebagai para pahlawan dalam bidang aqidah yang membela aqidah murni Islam khususnya secara Nazhori yang sangat penting dalam bidang keilmuan Islam.
Imam Ahmad ibn Hajar Al-Haithami berkata: “Ahli bid’ah ialah orang yang berpegang dengan pegangan yang berbeda dengan aqidah Ahlus-Sunnah. Adapun Ahlus-Sunnah adalah aqidah yang dipegang oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Abu Manshur Al-Maturidi dan mereka yang mengikut (manhaj) kedua-duanya. [Al-Fatawa Al-Hadithiyyah m/s205] Perkembangan Ilmu Kalam Sunni (Ilmu Tauhid Nazhori).
Setelah para ulama’ menerima manhaj Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang aqidah, maka mazhab keduanya terus dikembangkan merentasi zaman. Kedua-madrasah mempunyai para ulama’ agung yang mengembangkannya serta menyempurnakan perbahasan-perbahasan serta penghujahan mereka berdua. di Antara murid-murid kepada Imam Al-Asy’ari yang kuat mengembangkan mazhab Imam Al-Asy’ari adalah: Imam Abu Al-Hasan Al-Bahili
Imam Abu Al-Hasan Bundar As-Syirazi (teman Imam As-Syibli) Imam Abu Abdillah bin Mujahid Al-Bashri (juga murid Imam Sahl At-Tustari) Imam Abu Sahl As-Shu’luqi (juga murid Imam Ibn Abi Hatim) Imam Abu Abdillah At-Tha’ie. Kemudian, murid-murid kepada para imam tersebut mengembangkan mazhab Imam Al-Asy’ari dalam masalah aqidah.di Antara mereka adalah
Imam Saif As-Sunnah Al-Qadhi Abu Bakr bin At-Thayyib bin Al-Baqillani Al-Maliki (murid Imam At-Tha’ie. Antara kitab beliau yang terpenting adalah Al-Inshof Fima Yajibu I’tiqaduhu wa La Yajuzu Al-Jahl Bihi danTamhid Al-Awa’il.)
Imam Abu Bakr Ibn Furak Al-Asfahani (w: 406 H). Beliau berguru dengan Imam Abu Al-Hasan Al-Bahili bersama-sama Imam Al-Baihaqi dan Imam Al-Qusyairi. Antara kitab beliau dalam mengembangkan mazhab Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah kitab Mujarrad Maqalat Al-Asy’ari.
Imam Al-Ustaz Abu Ishaq Al-Isfirayini (m: 418). Beliau adalah murid Imam Al-Bahili.
Kemudian, ianya dikembangkan oleh para ulama’ Al-Asya’irah pada peringkat ketiga yang merupakan di antara murid-murid kepada para imam tersebut. mereka adalah:
Imam Abu Al-Qasim Al-Isfirayini (w: 452 H). Beliau berguru dengan Imam Abu Ishaq Al-Isfirayini dan bersahabat dengan Imam Al-Baihaqi. di Antara murid beliau adalah: Imam Al-Haramain, guru kepada Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali r.a. dan Imam Dhiya’uddin Al-Razi, ayahnda kepada Imam Fakhruddin Al-Razi.
Imam Al-Ustaz Abu Bakr Al-Baihaqi (w: 384 H). Beliau berguru denga Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim Al-Isfirayini dan Imam Abu Bakr bin Furak. di Antara buku-buku tulisan beliau adalah: Al-Asma’ wa As-Sifat sebesar dua jilid (buku rujukan dalam bidang aqidah) dan Al-I’tiqad.
Seterusnya, dikembangkan oleh para ulama’ di antara mereka yang terkemuka adalah seperti:
Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syirazi (393-476 H). Beliau adalah murid Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam Al-Qadhi Abu At-Thayyib At-Tabari, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Ahmad Al-Baidhawi, Imam Al-Faqih Az-Zujaji dan sebagainya. Antara tulisan beliau dalam bidang aqidah adalah: Al-Isyarah ila Mazhab Ahl Al-Haq.
Imamul Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini (419-478 H). Beliau berguru kepada ayahndanya Imam Abdullah Al-Juwaini dan Imam Abu Al-Qashim Al-Iskafi Al-Isfarayini. Antara kitab-kitab beliau khususnya dalam bidang aqidah adalah: Al-Irsyad ila Qawathi; Al-Adillah fi Usul Al-‘I’tiqad, Ar-Risalah An-Nizhamiyyah (Al-Aqidah An-Nizhamiyyah), As-Syamil fi Usul Ad-Din, Lam’atul Adillah fi Qawa’id ‘Aqa’id Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Begitulah seterusnya, mazhab Al-Asy’ari dalam aqidah terus dikembangkan oleh banya ulama’ besar di antara mereka adalah seperti: Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali r.a. (w: 505 H) khususnya menerusi buku beliau Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad.
Imam Abu Al-Fath Muhammad As-Syahrastani (w: 548 H) khususnya menerusi kitab Nihayah Al-Iqdam fi Ilm Al-Kalam dan Al-Milal wa An-Nihal. Imam Fakhruddin Ibn Asakir (499-571 H) khususnya menulis kitab Tabyyiin Kazb Al-Muftari merupakan buku yang menghimpun sebagian nama-nama para ulama’ Al-Asya’irah yang besar. Khatib Ar-Riy Imam Dhiyauddin Abu Al-Qasim Umar Al-Razi khususnya meneruskan kitab Ghayah Al-Maram fi Ilm Al-Kalam. Imam Fakhruddin Al-Razi r.a. (w: 606 H) anak kepada Imam Dhiya’uddin Ar-Razi, khususnya dalam buku beliau Asas At-Taqdis dan Al-Masa’il Al-Khamshun fi Usul Al-Kalam. Imam Al-Amidi (e: 631 H) khususnya buku beliau Ibkar Al-Afkar dan Ghayah Al-Maram fi Ilm Al-Kalam Imam Al-Iji (680-756 H) khususnya kitab-kitab beliau: Al-Mawaqif fi Ilm Al-Kalam, Jawahir Al-Kalamdan Al-‘Aqa’id Al-Adhiyyah Imam Muhammad bin Yusuf As-Sanusi (w: 895 H) khususnya buku beliau Umm Al-Barahin, Al-Manhaj As-Sadid dan Aqidah Ahl At-Tauhid Al-Kubra. Setelah itu, perkembangan kitab-kitab Al-Asya’irah lebih bersifat syarahan, ulasan dan catatan terhadap kitab-kitab terdahulu.
Perkembangan ilmu aqidah secara Nazhori atau ilmu kalam ini sangat memainkan peranan penting dalam menyusun kerangka asas dalam berinteraksi dengan masalah aqidah khususnya melibatkan bab ketuhanan, berdasarkan femahaman nas yang jelas dan penggunaan kaedah akal yang seimbang. Maka, Tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah suatu Tauhid Amali Syuhudi atau suatu Tauhid praktikal dan penghayatan, yang mana aqidah adalah suatu yang disemat dalam jiwa dalam bentuk penghayatan. Tauhid Amali ini adalah suatu tauhid yang murni yang lahir daripada suatu proses penyucian jiwa (Tazkiyyah An-Nufus) dan tarbiah kerohanian. Oleh sebab itulah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam merupakan seorang murobbi agung kepada para sahabat r.a. yang menerapkan tauhid Amali ini dalam jiwa mereka melalui tarbiah kerohanian.
Namun, setelah munculnya golongan yang sesat dalam masalah aqidah khususnya ketika salah faham terhadap nas-nas Islam, maka para ulama’ terpaksa menghimpun ilmu aqidah dalam bentuk teori untuk memelihara aqidah umat Islam daripada salah faham dalam masalah aqidah dan menyusun manhaj sahih dalam berinteraksi dengan nas-nas (termasuklah nas-nas mutasyabihat) yang melibatkan masalah aqidah.
Walau bagaimanapun, kesibukan dan fokus terhadap ilmu Tauhid Nazhori (berbentuk teori) ini tidak menyebabkan ilmu Tauhid Amali Syuhudi ini terhenti perkembangannya dalam masyarakat Islam. malah dikembangkan oleh para ulama’ sufi dalam bentuk Tarbiah Ruhiyyah Amaliyyah (tarbiah kerohanian praktikal) dan dikembangkan juga melalui penulisan-penulisan mereka dalam ilmu Tasawwuf.
Bahkan, ketika ilmu Tauhid Nazhori sedang dikembangkan dalam bentuk ilmu Kalam oleh golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah, sebagian para ulama’ sufi turut terlibat membahas ilmu Tauhid Nazhori ini juga bahkan kebanyakan mereka menjadikan asas-asas manhaj aqidah Al-Asya’irah atau Al-Maturidiyyah sebagai pendahuluan bagi perjalanan menuju Allah s.w.t. (perjalanan kerohanian) karana tanpa asas aqidah yang jelas dan sahih, maka perjalanan kerohanian menuju Allah s.w.t. tidak membawa kepada natijah yang sahih kerana aqidah adalah asas bagi ibadah dan pengabdian.
Bahkan, sebahagian para ulama’ Mutakallimin yang terlibat dalam membahas ilmu Tauhid Nazhori (ilmu Kalam) ikut menggalakkan pelajaran ilmu Tasawwuf dan tarbiah kerohanian sebagai penyempurnaan dan perealisasian terhadap ilmu Aqidah yang telah dipelajari.
Maka, kita dapat simpulkan dua bentuk hubungan antara ilmu Aqidah (Nazhori) dengan ilmu Tasawwuf yaitu: Ulama’ Sufi berpegang dengan ilmu Kalam sebagai pendahuluan pembahasan ilmu Tasawwuf.
Ilmu Aqidah Nazhori dijadikan sebagai subjek pendahuluan terhadap ilmu Tasawwuf oleh kebanyakan ulama’ sufi karena kepentingan aqidah yang sahih dalam perjalanan menuju Allah s.w.t.. Maka, manhaj Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah yang menjadi manhaj utama membela aqidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah turut diterapkan dalam perbincangan ilmu Tasawwuf khususnya di awal pembahasan mereka.
Ulama’ Mutakallimin (ahli ilmu Kalam) berpegang dengan ilmu Tasawwuf sebagai Manhaj Penyempurnaan. Para ulama’ Mutakallimin menyeru untuk mempelajari ilmu Tasawwuf setelah membahas ilmu Kalam secara teori karana ilmu Tasawwuf adalah penyempurnaan dan manhaj yang menterjemahkan ilmu Aqidah yang dipelajari secara teori dalam bentuk penghayatan.