Rabu, 24 April 2013

HISTORIS PESANTREN DI INDONESIA

Dalam memahami tentang sejarah, tentunya membutuhkan berbagai analisis yang bisa dipercaya, hal ini dikarenakan bahwa sejarah merupakan suatu konsep ilmiah / history is reality sehingga untuk memahami sejarah harus memakai pendekatan yang ilmiah. dalam pembahasan tentang sejarah pondok pesantren, maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana sejarah tentang pesantren ini bisa membuktikan secara ilmiah.
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.
Selain itu disebutkan bahwa pondok pesantren adalah suatu bentuk lingkungan “masyarakat” yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang positif. Pada umumnya, pesantren terpisah dari kehidupan sekitanya. Komplek pondok pesantren minimal terdiri atas rumah kediaman pengasuh disebut juga kyai, masjid atau mushola, dan asrama santri. Tidak ada model atau patokan tertentu dalam pembangunan fisik pesantren, sehingga penambahan bangunan demi bangunan dalam lingkungan pesantren hanya mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka.
Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kalinya, dimana dan siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Berdasarkan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama Pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi hal ini juga diragukan, karena tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Kendatipun Islam tertua di Indonesia yang peran sertanya tidak diragukan lagi, adalah sangat besar bagi perkembangan Islam di nusantara.
Lembaga pendidikan yang disebut pondok pesantren sebagai pusat penyiaran Islam tertua yang lahir dan berkembang seirama dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat sederhana. Kegiatan pembelajaran biasanya diselenggarakan di langgar (mushala) atau masjid oleh seorang kyai dengan beberapa orang santri yang datang mengaji. Lama kelamaan “pengajian” ini berkembang seiring dengan pertambahan jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga yang unik, yang disebut pesantren.
Di Indonesia pondok pesantren lebih dikenal dengan istilah Kutab merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri.
Sedangkan asal-usul pesantren di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur), spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. Ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi yang wafat pada 12 Rabi’ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal sebagai Sunan Gresik adalah orang yang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa.
Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pondok pesantren di sana. Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit. Kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putra beliau. Misalnya oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.
Pondok pesantren memang bila dilihat dari latar belakangnya, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat yang terdapat implikasi-implikasi politis sosio kultural yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah. Sejak negara kita dijajah oleh orang barat, ulama-ulama bersifatnoncooperation terhadap penjajah serta mendidik santri-santrinya dengan sikap politis anti penjajah serta nonkompromi terhadap mereka dalam bidang pendidikan agama pondok pesantren. Oleh karena itu, pada masa penjajahan tersebut pondok menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang menggembleng kader-kader umat yang tangguh dan gigih mengembangkan agama serta menentang penjajahan berkat jiwa Islam yang berada dalam dada mereka. Jadi di dalam pondok pesantren tersebut tertanam patriotisme di samping fantisme agama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu.

Minggu, 21 April 2013

TITIPAN ILLAHI


Dalam hidup ini, setiap manusia selalu mendapatkan pengayoman dari GUSTI ALLAH. Pengayoman tersebut tidak pernah putus walau sedetik pun. Berbagai kenikmatan di dunia ini senantiasa kita terima secara gratis. Contohnya, napas kita. GUSTI ALLAH senantiasa memberikan udara pada kita untuk bernapas dan tidak membayar sepeser pun alias gratis. Namun kadangkala manusia selalu menganggap kenikmatan itu sebagai hal-hal yang berbau materi.
Umumnya manusia merasa baru mendapatkan kenikmatan setelah menerima duit dari orang lain. Mereka mengatakan itu merupakan rejeki. Rejeki dan kenikmatan itu semata-mata bukanlah materi. Apa yang kita terima dari GUSTI ALLAH berupa kesegaran, kesehatan dan lainnya, itupun merupakan rejeki dan kenikmatan dari ALLAH. Itu merupakan tanda bahwa GUSTI ALLAH senantiasa mengayomi setiap diri umatnya. Tidak peduli apakah umatnya itu memiliki cacat fisik maupun rohani, semuanya selalu mendapatkan pengayoman dari GUSTI.
GUSTI ALLAH itu juga Maha Adil. DIA menjaga setiap sendi-sendi kehidupan umatnya. Namun berbeda dengan manusia, rata-rata makhluk yang disebut manusia ini dalam praktek kehidupan sehari-hari ternyata tidak adil. Ada tiga hal yang patut dijaga oleh manusia agar seorang manusia itu dikatakan adil dan menjadi "Manusia sejati". Apa saja itu?
Tiga hal tersebut adalah:
1. Raga
2. Pikiran
3. Jiwa
Ketiga hal tersebut ada dalam setiap tubuh manusia. Raga dalam bahasa Jawa disebut "Wadag". Pikiran dalam bahasa Jawa disebut "nalar". Sedangkan Jiwa disebut orang Jawa dengan "suksma". Ketiga hal tersebut antara satu dengan lainnya memiliki makanan sendiri-sendiri.
Makanan untuk ketiga hal tersebut:
1. Raga (makanannya adalah nasi, roti dsb)
2. Pikiran (makanannya adalah membaca koran, melihat TV, mendengarkan radio dan tukar pikiran dengan orang lain agar tumbuh pemahaman)
3. Jiwa (makanan dari jiwa adalah "panembah", "Memuji GUSTI ALLAH", Sembahyang, Sholat dan lainnya, agar muncul rasa tentram dalam hidup ini).
Nah, rata-rata manusia dikatakan tidak bisa adil karena untuk menjaga makanan dari ketiga hal tersebut saja merasa kesulitan. Padahal, GUSTI ALLAH sudah menitipkan tiga hal tersebut pada setiap diri dan titipan itu harus dirawat dengan baik oleh manusia. Kenyataannya malah berkata lain. Manusia umumnya menelantarkan satu dari ketiga hal tersebut.
Setiap titipan GUSTI ALLAH pada manusia jika kita sebagai manusia menelantarkannya, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidup ini. Contohnya, jika kita lebih mementingkan raga saja dengan makan semua makanan yang ada tanpa diimbangi dengan kebutuhan Jiwa dan pikiran, maka yang muncul adalah penyakit akibat makanan itu.
Demikian juga ketika kita lebih mementingkan pikiran dimana kita selalu mencari pemahaman dengan membaca koran dan ilmu pengetahuan lainnya tanpa mempedulikan raga dan jiwa, maka kita juga akan sakit. Umumnya sakit maag, lever dan lainnya.
Oleh karena itu, ketiga hal tersebut harus dijaga keseimbangannya karena ketiganya merupakan titipan yang sangat berharga dari GUSTI ALLAH. Kalau ketiga hal tersebut sudah bisa dijaga dengan seadil-adilnya, maka kita bisa disebut manusia yang senantiasa menjaga amanah dari GUSTI ALLAH dan digelari sebagai "Manusia Sejati".