Kiai
As’ad, yang rajin membaca dan berlangganan enam koran ditambah sebuah majalah
mingguan berdarah Madura asli. Lahir tahur 1897 di Mekah ketika orangtuanya
menunaikan ibadat haji. Satu satunya adiknya, Abdurrahman juga lahir di kota suci
itu dan bahkan menjadi hakim dan meninggal di Arab Saudi.
Pada
umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul Arifin, seorang ulama besar di Madura,
K.H. As’ad ditaruh di Pesantren Sumber Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11
tahun, As’ad diajak ayahnya menyeberangi laut dan membabat hutan di sebelah
timur Asembagus yang waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang, kecuali
ha- rimau dan ular berbisa,” kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan
itu, mereka membangur permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo.
Pada
usia 16 tahun, bersama seorang adiknya, Abdurrahman. As’ad dikirim kembali ke
Mekah dengan harapan setelah pulang mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3 tahun
bertahan di Mekah, ia kembali ke tanah air dan masih belajar di beberapa
pesantren. Di berbagai pondok ini, bukan cuma agama yang dipelajari, juga ilmu
silat, ilmu kanuragan.
As’ad
juga pernah belajar di Pondok Tebuireng pimpinan K.H. Hasyim Asyari, dan
menjadi kurir ulama ini menjelang lahirnya NU tahun 1929. Setelah NU
berkembang, ia ternyata tak terpaku hanya pada NU. As’ad juga memasuki Sarekat
Islam selama pernah menjadi anggota organisasi Penyedar – yang didirikan Bung
Karno. Di sinilah, As’ad kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di tengah
gejolak perjuangan itu (1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah.
Dan kini dikaruniai lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid,
kini baru 14 tahun. Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya
sembilan cucu serta tiga buyut.
Pesantren
Sukorejo di bawah K.H. As’ad kini berkembang dengan pesat. Terletak di pinggir
jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur Kecamatan Asembagus.
Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab Ahlan Wa Sahlan dan bahasa Inggris
Welcome. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan gaya pesantren, juga
ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas Ibrahimy. Santri yang
mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung semua siswa (santri dan
murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang. Kompleks ini dijuluki “kota santri”.
Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri setiap saat terlihat main bola
– memakai sarung.
Di
pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad membangun
masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali dimaksudkan agar para
santrl lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Kiai
yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai seekor kuda putih warna
kegemarannya. “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya tentang kuda itu.
Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai pengganti.
Namun, ada “kuda” lebih gesit yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu mobil kolt.
Juga putih.
Selain
rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara seekor burung
beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung itu memberi salam:
assalamu’alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur sapa sang beo, biasanya
tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan kata-kata assooiiii … Tapi
burung beo itu pun, menurut santrl di sana, menyerukan Allahuakbar bila bergema
suara azan. “Burung ini pemberian orang sebagai hadiah,” kata seorang pembantu
Kiai As’ad.
Toh
ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa Timur ini. Termasuk
Kiai As’ad sendiri. Pasalnya, adalah soal usia Kiai yang sudah cukup sepuh,
sementara pewaris satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat muda. “Saya tak tega
menyekolahkan Ahmad ke Arab Saudi, usianya masih muda – mungkin tiga tahun
lagi,” ujar Kiai. “Sang putra mahkota”, walau tekun juga mengaji bersama teman
sebayanya, kamarnya penuh dengan kaset, radio, televisi, bahkan video. Sebagai
anak muda, “hampir setiap saat ia tenggelam dengan hiburan itu,” ujar seorang
pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid memang disediakan kamar khusus yang jauh dari
rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak beberapa waktu lalu telah ditunjuk K.H.
Dhofir Munawar, menantu Kiai As’ad dari anak pertamanya, sebagai pengelola
pesantren sehari-hari.
SETELAH
menjadi anggota Konstituante (1959), ia tak lagi tergiur pada jabatan politik.
Ia menolak jabatan yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi menteri agama di
zaman Nasakom. Bahkan, sebagai ulama yang cukup terpandang di kalangan Nahdatul
Ulama (NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk menjadi rois am, bahkan rois
akbar.
Kiai
Haji Raden As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah,
Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, agaknya
memang hanya tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini bukan orang politik,
saya ini orang pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu. Lebih-lebih karena
pengalaman selama menjadi anggota Konstituante (1957-1959): selama itu pula
pesantrennya sangat mundur.
Bukan
berarti Kiai As’ad menyembunyikan diri dari keriuhan politik dan hingar-bingar
NU, yang sampai kini tak pernah selesai tuntas. Terbukti dari kegiatannya
menerima tamu yang tak putus-putusnya. Banyak pengamat menilai, Kiai As’ad
adalah salah seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani jika ada
“ketegangan” antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU. Ketika ribut-ribut
soal buku PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara, langsung menemui Pak Harto.
“Bagaimana Pak, buku PMP ini ‘kan bisa merusak akidah umat Islam,” kata Kiai
mengulang pembicaraan yang sudah setahun lebih itu. Berbicara begitu, Kiai
As’ad memberi beberapa contoh yang semestinya dikoreksi. Pak Harto, menurut
Kiai, berjanji akan menyelesaikannya. “Ternyata buku itu akhirnya
disempurnakan,” kata Kiai, yang sudah 15 kali ke Mekah.
Di
saat ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus, untuk kesekian
kalinya, Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana. Pertemuan itu, yang dihadiri
juga oleh Menteri Agama K.H. Munawir Syadzali yang direncanakan cuma 15 menit,
mekar menjadi 1 jam. Kepada Presiden ditegaskan pendirian NU yang menerima
Pancasila. “Ini penting ditegaskan, karena NU sejak semula berlandaskan
Pancasila dan UUD 45,” tuturnya. Presiden, menurut Kiai, manggut-manggut.
Bahkan Kiai As’ad lebih menegaskan, “Islam wajib menerima Pancasila, dan haram
hukumnya bila menolaknya. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid dan
Qulhuallahu Ahad.”
Dalam
kemelut NU, Rois Am K.H. Ali Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya,
mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah”
penyelesaian kericuhan setelah K.H. Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan PBNU,
menyatakan mundur – tapi kemudian mencabut pernyataan itu.
Di
pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan berukuran 3 x 6
meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri pria itu
tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu boleh
berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang sudah dianggap
keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di rumah yang lebih
bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang berukuran sekitar 30 m2
yang digelari permadani untuk tamu yang ingin bermalam, atau terpaksa bermalam,
menanti giliran menemui Kiai, yang semua gigi atasnya sudah tanggal.
Di
pesantren seluas 7 hektar inilah nanti, November 1983, akan berlangsung
Musyawarah Nasional NU. Untuk itu, semua biaya ditanggung pesantren pimpinan
Kiai As’ad ini. Warga NU di Situbondo dan Bondowoso langsung terlibat. “Akan
saya perintahkan untuk menyumbang beras satu kilogram setiap orang,” kata Kiai.
Beras itu dimaksudkan untuk konsumsi peserta musyawarah nasional yang
diperkirakan lebih dari seribu orang. Kiai yang tampak sehat ini tak
menjelaskan agenda munas itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar